Sosialisasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Hari/Tanggal             : Selasa, 14 Februari 2023

Waktu                        : Sesi 1, 09.00-11.00 WIB

Pembukaan Webinar : Temu Ismail, S.Pd., M.Si.

Narasumber 1            : Ryka Habsari Putri, S.AP.

Narasumber 2            : Julians Andarsa, S.H., LL.M.

Moderator                  : Indah Mustika Rini, S.Pd., M.Pd.

    Selama bertahun-tahun, kekerasan seksual masih menjadi pergumulan bangsa Indonesia hingga kini. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Oleh karena itu, pentingnya suatu instansi pemerintahan di bidang pendidikan seperti Kemendikbudristek untuk mengambil suatu sikap penting. Sebagai langkah komitmen serius, kemudian Kemendikbudristek menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang berisi tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pada tanggal 13 – 15 Februari 2023 Kemendikburistek juga menyelenggarakan suatu webinar bertemakan “Sosialisasi Permendikbud No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi” secara daring di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan tersebut bertujuan memberikan pedoman kepada pelaksanaan pembelajaran yang bermutu dengan mengintegrasikan keamanan dari tindak kekerasan seksual bagi seluruh civitas akademika perguruan tinggi. Hal tersebut sesuai dengan arahan Bapak Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI yang menyatakan, “Pendidikan tinggi merupakan batu loncatan, maka setiap kampus di Indonesia harus merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya”. Dalam webinar ini akan dipaparkan oleh dua orang narasumber utama yaitu Ibu Ryka Habsari Putri, S.AP. dan Bapak Julians Andarsa, S.H., LL.M.

Berdasarkan narasumber pertama oleh Ibu Ryka Habsari Putri, S.AP. memaparkan hasil riset dan berita, terdapat 88% dari total kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2020) merupakan kasus Kekerasan Seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Adapun 35% berasal dari kasus di universitas, 16% berasal dari pesanten atau pendidikan berbasis Islam, 15% pada tingkat SMU/SMK dan 11% dari tingkat pendidikan lainnya. Hasil riset juga didudkung survei dan data yang menunjukkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan sebanyak 63% dari korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual dampaknya traumatis bagi korban serta sulit dibuktikan sehingga dapat menghambat seseorang memperoleh prestasi akademik atau karir korban. Selain itu korban juga akan kehilangan kesempatan menikmati proses pendidikan secara aman dan optimal. Kekerasan seksual juga dapat menyebabkan korban yang merupakan peserta didik keluar dari sekolah sebelum waktu kelulusan. Apabila kekerasan seksual tersebut terjadi pada tenaga pendidik, akan berdampak kehilangan pekerjaan di dunia pendidikan hingga mampu mendeskreditkan posisi satuan pendidikan. Akibat lebih besarnya bagi dunia pendidikan di Indonesia adalah menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai nilai Pancasila dan UUD 1945. Proses mewujudkan cita cita mencerdasakan kehidupan bangsa sesuai UUD 1945 akan terhambat.

Dalam memahami kekerasan seksual terdapat kata kunci yang harus dipahami sebagai tanda suatu tindakan mengarah pada kekerasan seksual, yaitu adanya paksaan dari satu (atau lebih pihak) terhadap pihak lain dalam suatu perbuatan, yang bertujuan untuk memiliki kuasa atas pihak yang dipaksa. Berdasarkan pasal 1, Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 yang merupakan pembaharuan dari permendikbud sebelumnya (Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015) disebutkan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Berdasarkan pasal 5 ayat (1), Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, kekerasan keksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian pada Pasal 5 ayat (2), kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1.   menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban

2.   memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban

12. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban

13. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban

3.     menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban

4.   menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman

5.   mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban

6.   mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban

14. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual

15. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual

16. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi

17. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin

7.   mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

18. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi

8.   menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban

9.   mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi

10.  membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban

11.  memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual

19. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil

20. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau

21. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya

Pada paparan narasumber kedua oleh Bapak Julians Andarsa, S.H., LL.M dalam penanganan kekrasan seksual dapat menciptakan pendidikan berkualitas bagi semua pihak. Seluruh satuan pendidikan bertanggungjawab untuk menciptakan pendidikan berkualitas bagi semua, melalui lingkungan belajar yang bebas dari perudungan, intoleransi dan kekerasan seksual. Dimana semua warga satuan pendidikan mencintai keberagaman dan mewujudkan kesetaraan yang berkeadilan. Kekerasan seksual memberikan dampak negatif pada korban dan tergantung derajat keparahannya, dampak dapat bersifat permanen. Dampak yang terjadi seperti merasa tidak aman, takut, merasa bersalah, merasa malu, gelisah, gugup, depresi, tidak percaya diri, mendapat label negatif, merasa harga diri negatif, kesulitan membangun sosial, marah dan merasa terisolasi.

Jika terdapat laporan kekerasan seksual, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan sesuai pada pasal 10 sampai dengan pasal 19 yang meliputi pendampingan, perlindungan, pemulihan korban dan pengenaan sanksi administratif. Pendampingan dapat berupa konseling, layanan kesehatan, bimbingan sosial dan rohani, advokasi, bantuan hukum dan pendamping disabilitas. Perlindungan berupa jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman dan korban atau saksi bebas dari ancaman yang bekenaan dengan kesaksian yang diberikan. Pengenaan sanksi admnistratif berupa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi. Pemulihan korban juga menjadi bagian dari penanganan dengan masa pemulihan tidak mengurangi hak pembelajaran dan atau kepegawaian serta dilakukan berdasarkan persetujuan korban atau sanksi.

Sanksi diberikan kepada pelaku berdasarkan dampak akibat perbuatannya kepada korban dan lingkungan kampus, bukan besar peluang pelaku bertobat atau pelaku melakukan apa. Beradasarkan pasal 14, sanksi dapat berupa sanksi ringan, sedang dan berat. Sanksi ringan berupa teguran tertulis, pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Sanksi paling berat dengan pemberhentian sebagai mahasiswa dan pemberhentian dari jabatan pendidik, tenaga kependidikan atau warga kampus sesuai perundangan. Sanksi dapat lebih berat dapat diberikan oleh rektor dan direktur perguruan tinggi pelaksanan Permen PPKS.

Upaya penanganan yang telah diberikan dilakukan pada total 150 kasus dengan lokus terbanyak di perguruan tinggi telah menjatuhkan sanksi berupa sanksi pidana, sanksi disiplin berat, diberhentikan kontraknya, sanksi disiplin ringan, sanksi disiplin sedang, mahasiswa dikeluarkan dan dikenai skorsing.

Adapun tiga hal penting yang dapat dilakukan ketika mengetahui seseorang mengalami kekerasan seksual yaitu dengarkan, beri dukungan dan laporkan. Umumnya korban yang mengalami kekerasan seksual akan merasakan tonic immobility yakni respon tubuh berupa kesulitan untuk bergerak dan bersuara dikarenakan adanya rasa takut yang intens. Hal inilah yang menyebabkan terkadang korban pelacehan seksual tidak mendapatkan cukup bukti ketika peristiwa tersebut terjadi. Bahkan tidak sedikit pula masyarakat atau komunitas tertentu yang menganggap korban melakukan tuduhan palsu. Oleh sebab itu, perlu adanya penanaman nilai-nilai kepada komunitas pendidikan agar dapat memberikan kesempatan kepada korban untuk menenangkan diri dan sanggup menceritakan apa yang ia alami.

Adapun kanal pengaduan kekeran seksual dapat dilakukan di satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di kampus, atau dengan mengirimkan email ke merdekadarikekerasan@kemdikbud.go.id. Kanal pengaduan lain dengan mengakses Lapor.go.id (kemendikbud.lapor.go.id/) yang dapat digunakan secara nasional dikelola menpan; untuk whistle blowing system merupakan laporan secara nasional milik KPK, dan Posko Pengaduan (posko-pengaduan.itjen.kemdikbud.go.id). Untuk Mekanisme Penanganan pengaduan lengkap mengikuti alur pada gambar berikut ini:




Link akses Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021Download


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Grafik Volume Paru dan Volume Respirasi